Namanya Kepulauan Karas;
terletak di Distrik Karas, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Dari
keseluruhan penduduk Fakfak yang berjumlah sekitar 67 ribu jiwa
berdasarkan sensus tahun 2010, jumlah penduduk Distrik Karas adalah yang
paling kecil dengan 2599 jiwa. Sebagian besar penduduk Karas justru
tinggal di wilayah kepulauan dan bukannya di ibukota distrik yang
terdapat di Tanah Besar (sebutan untuk daratan Papua). Kampung Tanjung Purkadi berlokasi di Tanah Besar dan sekaligus menjadi ibukota distrik, sedangkan keenam kampung lainnya berlokasi di kepulauan, yakni Tarak dan Tubir Wasak di Pulau Tarak, Faur dan Kiaba di Pulau Faur, dan Antalisa dan Maas di Pulau Karas (pulau terbesar berbentuk angka 8). Berikut peta lokasi Kepulauan Karas sebagai orientasi awal (gambar diambil dari blog Radio HMS Fakfak):
Di peta Anda dapat melihat bahwa Pulau
Karas adalah yang terbesar dan di sisi timur terdapat 2 pulau yang
berdampingan. Sebelah utara adalah Pulau Tarak dengan 2 kampungnya dan
sebelah selatan adalah Pulau Faur dengan 2 kampung. Pulau Karas pun
memiliki 2 kampung sehingga tepatlah bila kepulauan ini dijuluki Negeri Tiga Pulau Enam Kampung.
Distrik Karas
sampai saat ini belum dapat ditembus oleh transportasi darat oleh
karena halangan alam berupa pegunungan dan hutan hujan tropis yang
rapat. Meski demikian cerita yang saya dengar tidak selalu sama; ada
yang mengatakan bahwa sebenarnya ibukota distrik dapat ditempuh dengan
jalan darat dari Kota Fakfak melalui akses khusus perusahaan penebangan
kayu. Namun jalur yang umumnya ditempuh oleh masyarakat adalah jalur
laut yang memakan waktu 3 jam untuk sampai ke Tanjung Purkadi. Sedangkan
ke Kepulauan Karas sendiri dapat ditempuh selama 2 jam dari Fakfak
dengan speedboat. Transportasi air ini belum tersedia secara
reguler dan biaya mencarter boat tersebut mencapai 5-6 juta rupiah
sekali jalan. Bagi masyarakat kepulauan, bepergian dengan menumpang
kapal-kapal nelayan sudah biasa dan umumnya memakan waktu seharian
penuh. Hampir tidak mungkin bagi masyarakat untuk pulang-pergi ke kota
dalam waktu satu hari saja; kebanyakan mereka menginap di kota untuk
menyelesaikan segala urusan lalu kemudian kembali ke pulau. Sinyal telepon genggam? Belum pernah dirasakan oleh masyarakat sini. Listrik pun hanya tersedia selama beberapa jam di malam hari melalui genset yang berbunyi bising.
Hampir seluruh penduduk Karas (98%)
beragama Islam dan komposisi suku-suku yang mendiami wilayah ini sangat
beragam. Kaum pendatang yang umumnya berasal dari Seram dan Sulawesi
Selatan telah mendiami daerah ini sejak ratusan tahun lalu dan telah
berbaur dengan penduduk lokal. Selain itu terdapat pula pendatang asal
Jawa. Sedangkan suku-suku asli Papua juga telah menjalani profesi yang
sama dengan warga lainnya, yakni nelayan dan petani pala. Meski terletak
di kepulauan, warga Karas tidak banyak yang bekerja penuh sebagai
nelayan. Jika laut sedang teduh maka para nelayan akan mencari ikan di
laut, namun jika sedang musim ombak atau kebun pala mereka panen, mereka
akan berhenti melaut dan berubah profesi menjadi petani pala.
Negeri Tarak
Dari keenam kampung di Kepulauan Karas
yang saya kunjungi, kampung/negeri inilah yang pertama kali saya datangi
dan yang terakhir pula sebelum saya tinggalkan serta paling sering saya
telusuri. Terletak di Pulau Tarak, kampung ini dihuni oleh sekitar
60-70 KK atau total 390 jiwa. Sebagai kampung Muslim, Tarak memiliki
sebuah mesjid cukup besar yang terletak di lereng bukit dan merupakan
bangunan tertinggi di kampung tersebut. Hanya sedikit warga yang
berprofesi sebagai nelayan; sisanya merawat kebun pala mereka dan
menjualnya ke kota. Untuk selanjutnya biarkan beberapa gambar yang
bercerita:
Perhatikan konstruksi rumah panggung yang biasanya dijumpai di Sulawesi
Dermaga Tarak berhiaskan daun kelapa & ucapan 'Selamat Datang'
Nona memancing ikan di dermaga Tarak; banyak sekali ikannya!
Salah satu sudut kampung Tarak
Rumah-rumah penduduk umumnya sederhana
dengan berdinding dan atap kayu, sementara jika kita melangkah sedikit
ke dalam, banyak rumah yang bentuknya sudah permanen. Dari sekitar 60
KK, hampir separuhnya sudah memiliki fasilitas MCK sendiri sementara
sisanya memanfaatkan MCK umum yang tersedia di beberapa titik di
kampung. Di kampung ini terdapat satu posyandu dan satu sekolah dasar
negeri. Fasilitas listrik tersedia melalui genset yang menyala hampir
sepanjang malam dan warga umumnya memiliki televisi dengan antena
parabola. Saya sendiri sempat menangkap siaran radio RRI Pro 3 Nasional melalui frekuensi 93.2 FM dan RRI Pro 2 Fakfak di frekuensi 99.0 FM.
Tidak ada dokter yang bertugas di sini;
satu-satunya petugas kesehatan adalah mantri yang juga bertempat tinggal
di pulau tersebut. Sedangkan guru tetap sekolah dasar hanya 1 orang
plus 1 guru bantuan dari Jawa yang didatangkan melalui program Indonesia
Mengajar (lebih lanjut di postingan berikut).
Hati-hati jika kita melangkah di jalanan
kampung agar tidak menginjak hamparan biji pala dan bunga pala yang
dijemur di mana-mana!
Biji & bunga pala yang sedang dijemur
Selain ikan laut, pala
adalah hasil bumi utama yang mendatangkan pendapatan bagi masyarakat
Tarak. Tidak banyak perawatan yang perlu dilakukan terhadap tanaman
pala. Bibitnya ditanam di kebun untuk kemudian dibiarkan tumbuh selama 5
tahun sebelum dapat dipanen pertama kali. Selanjutnya pala dapat
dipanen secara teratur 2 kali setahun. Layaknya pohon buah biasa,
masyarakat tinggal menunggu musim panen untuk kemudian memetik buahnya.
Semua bagian dari buah pala dapat dimanfaatkan. Biji dan bunganya
dimanfaatkan sebagai rempah-rempah sedangkan daging buahnya dijadikan
manisan. Namun rupanya warga Tarak memilih untuk membuang saja daging
buahnya setelah dikupas, mungkin karena dianggap tidak berharga. Maklum,
1 kilogram biji pala yang dibeli di Tarak harganya Rp 40,000.-
sementara di Jakarta harganya sudah mencapai Rp 250,000.-/kg. Bunga pala
lebih mahal lagi: harga di Tarak saja sudah Rp 200,000.-/kg. Bunga pala
dapat dijadikan bahan rempah-rempah pada masakan Cina sehingga umumnya
warga Tionghoa-lah yang menjadi konsumen utamanya.
Sebenarnya ada lagi sumber pangan alternatif di sana, yakni babi hutan
yang menjadi satu-satunya hewan liar terbesar dan kerap diburu
masyarakat. Namun karena semua penduduk Tarak beragama Islam, babi hutan
yang diburu tersebut kemudian dibuang begitu saja atau dibakar di tepi
pantai. Saya cuma bisa termangu mendengarnya. Wekekekek.
Petualangan saya di Karas belum selesai. Obrolan dengan Bapa Desa selalu menarik dan kunjungan ke dua
pulau lainnya begitu mempesona. Nantikan episode berikutnya ya!
Sumber :Indra